Senin, 27 Agustus 2007

Merdekaaaaaa.... Merdekaaaaa.....


Kecil-kecil udah kental
nasionalismeku....hehe...
terimakasih pahlawan bangsaku

Merdekaaaaaa.... (kata Palung)


Merdekaaaaaa.... (kata Palung)

Akhirnya Palung tertidur...
(Mimpikan Mami ya Palung...)

Palung sudah bobok...

Mama Palung....


Temok-temok sia ko.....

Puisi Esha Tegar Putra


Kepada Palung

--Yetti AK dan Sondri BS

adakah Juni bebar-benar basah di kedalamanmu?

sebelum mereka bisikkan laut pada kelahiranmu

telah dulu mereka tanam sepatah dahan

yang bakal tumbuh batang rimbun daun

dan akan terus rampai menjuntai sepanjang tahun kayu

berakarlah di asin ini

mereka bakal bikin tawar

tumbuh dan jangkaulah kedalamanmu.

Saniangbaka, Juni 2007

Cat: puisi diambil dari Media Indonesia Minggu 12 Agustus 2007

Minggu, 26 Agustus 2007

Palung Laut, Elang Langit


Cerpen Yetti A.KA

Tentang anak-anak, masih ingin aku menantinya di ujung harapan yang tiada berbatas. Menjalin rindu sampai lelah menjawabnya di akhir hari-hari yang panjang. Dan aku tidak menyerah. Bermain-main harapan, bermain-main khayal, bermain-main impian.

Sebagaimana pernah kau katakan, “Anak kita lelaki! Semoga kau paham.” Maka suatu kali aku sungguh-sungguh ingin memahami mereka sebagai lelaki. Menegakkan wajah ke langit dengan dada getar, dan kupersembahkan nama anak-anakku pada zaman yang memintanya. Mesti dadaku pecah dan kosong. Tak apa. Tapi ada yang kita lupakan tentang ritual itu, sebuah cinta yang tidak mungkin terbunuh. Karenanya aku sering menangis.

Aku tidak lupa saat akhirnya mereka pamit dengan wajah yang baja. Saat itu aku menemukan mereka telah sangat berbeda. Mata yang lebih tajam dan tidak mampu lagi kumaknai sebagai bahasa yang teduh. Aku lalu berkata dengan wajah tertunduk,”Pergilah, Anakku. Pergilah, Nak!” Kusimpan kata lain yang semestinya juga kukatakan: Kembali, Nak! Kembali!

Kau tiba-tiba mengingatkan aku akan sesuatu: Anak kita lelaki dan akan pulang kepadamu. Tapi aku tidak ingin percaya. Hati telah belah. Ingin aku tak memahami perasaanku yang sesungguh.

Aku ingin lebih tulus melepas anak-anakku dengan tanpa harapan apa-apa. Kuantar dengan mataku sampai ke ujung yang hingga tanpa kusadari aku telah kehilangan mereka di sebuah hari. Sepi menikamku seketika. Kosong yang terasa aneh, namun aku mulai terbiasa. Lalu nama anak-anakku menjadi bunga-bunga yang selalu mekar di musimnya. Aku merasa telah bahagia.

Keberanian itulah yang ingin tetap kujaga sebagai sebuah pilihan, entah apa kau akan memahaminya. Sebagai impian yang kusemai di taman, aku ingin anak-anakku kelak menghiaskan setangkai melati di rambutku. Pulang saat laut menyingggahi tepian, sehingga mereka akan tahu serupa apa harapan yang kubangun antara getar dada yang tak pernah reda. Waktulah yang akan mengantar anak-anak kepadaku. Sebab aku seorang ibu.

***

Ingat kau tentang rumah kayu tanpa pagar? Beranda yang luas dengan hiasan anggrek ungu dekat tangga. Seluruh halaman ditumbuhi rumput Belanda yang halus lagi hijau segar. Beberapa lepau bambu berjejer di bawah pohon yang berpuluh-puluh batang.

Setiap kau pulang akan kau temukan tawa anak-anak pecah di antara desau angin. Melihat bola mata mereka yang begitu hidup. Di sana akan kau dapatkan telaga bening tempat ribuan mimpi berenang. Dan kau akan tahu keindahan surga itu sesungguhnya ada di hati anak-anak. Amat dekat dengan kita. Maka kita berbahagia karena telah menemukannya.

Tapi sayang sekali kau hanya akan pulang sesekali saja. Kau tidak akan melihat anak-anak tumbuh dari setiap detakan waktu yang bergerak cepat. Tiba-tiba kau telah menemukan anak-anak pandai tengkurap, duduk, berjalan dan bicara patah-patah. Sementara aku menyaksikan segalanya dengan rasa gugup dan debar yang begitu hangat. Mengajari mereka tentang cinta dan kedamaian. Hingga mereka tahu mengapa kita memilih rumah yang jauh dari keramaian, sebab kita butuh tempat yang masih memberikan hawa segar. Mereka juga akan tahu mengapa kita tidak memagari rumah kayu dengan besi yang berjeruji karena kita bukan tahanan yang harus dipenjarakan oleh rasa takut.

Kau memelukku erat sambil berbisik, “Aku menyukai impianmu.”

“Kalau begitu beri aku Palung Laut dan Elang Langit.”

Kau diam saja. Aku tahu kau pasti punya nama lain untuk anak-anak, tapi aku tidak memberimu kesempatan.

Apakah impian kita kurang indah?

***

“Anak kita, Palung Laut dan Elang Langit. Ketika lahir telah memilih sebagai lelaki. Lalu apa yang mesti kita sesali?” katamu seringkali. Aku enggan menatap matamu yang selalu ingin memojokkanku dengan sorot yang membujuk.

Aku memalingkan pandang ke ujung yang jauh. Kutangkap langit karena aku merasa harus berbagi.

“Kau ingat kan di sebuah sore yang kau anggap buruk, Palung Laut dan Elang Langit memilih pedang-pedangan padahal kau juga memberikan mereka pilihan lain, sebuah dunia yang indah dengan hiasan bunga-bunga cintamu. Juga ketika mereka justru memilih belajar menembak dengan pistol-pistolan yang dibelikan kakeknya daripada ikut les melukis seperti keinginanmu. Anak kita memang benar-benar telah memilih menjadi lelaki. Dan itu bukan hal yang begitu menakutkan.” Lagi-lagi kau menyudutkanku. Tapi aku tidak bisa.

Aku ingin dekat dengan anak-anak seperti dulu mereka dalam rahimku. Ingin menjaganya dengan kasih yang melimpah-limpah. Menyelimuti hati mereka dengan cinta yang putih salju. Tapi kau selalu mengatakan kalau aku tidak menghargai pilihan anak-anak. Dan itu sama saja membunuh hidup mereka dengan cara yang sangat halus namun pedih. Aku menangis diam-diam kala kau bicara seperti itu. Bagaimana mungkin aku bermaksud kejam pada anakku sendiri. Kau telah melebih-lebihkan segalanya. Tuduhanmu agak keterlaluan. Aku marah padamu.

“Apa kau sungguh-sungguh ingin anak-anak memilih sebagai lelaki?” tanyaku dengan mata yang basah. Kau gugup. Aku tahu kau tidak bisa membuat sebuah alasan untuk menipuku. Kau juga kesepian.

“Tapi anak kita telah memilih sebagai laki-laki.” Kembali kau membujukku.

“Seharusnya itu tidak terjadi jika akan menjauhkan mereka dariku.”

“Mereka akan tetap anak-anak kita,” katamu. Aku mulai muak dengan bujukan-bujukan seperti itu. Kau seperti ingin mengajari tentang hal yang belum kumengerti tentang anak-anak. Padahal aku selalu yakin jauh lebih memahami anak-anakku dari siapapun.

“Bukankah kau pernah menyukai impianku? Namun kini aku merasa kau ingin menghianatiku.” Aku menggugat.

“Palung Laut dan Elang Langit adalah laki-laki. Tidak ada yang salah dengan pilihan mereka.” Kalimatmu lebih tegas dari sebelumnya. Kau menangkap wajahku dan memaksaku memandang matamu. Aku benar-benar menangis.

***

Dari beranda masih kubayangkan anak-anak berlari-lari di antara pohon-pohon. Tubuh mereka terkadang hilang di balik pohon dan aku hanya mendengar pekikan kecil disusul derai-derai tawa. Mereka sedang bermain simbun-simbunan bersama teman-temannya. Dan aku tidak pernah melewatkan saat-saat di mana aku bisa menikmati kebebasan mereka berekspresi. Lalu sesekali anak-anakku akan melambaikan tangannya dengan jari-jari yang mungil. Aku tahu mereka tidak menginginkan aku pergi, maka aku akan tetap bertahan di beranda sampai mereka kembali ke pangkuanku dengan tubuh yang basah keringat.

Mungkin kau tidak punya kenangan seperti itu. Tapi aku?

Bila malam aku menemukan senyum mereka yang lebar di bawah pecahan cahaya bulan ketika aku mendongengkan cerita Pak Beluk, Sinam-nam, kura-kura dan monyet, Angsa putih juga ratusan cerita lain.

Malam-malam seperti itu masih begitu lekat di hatiku. Mereka terkadang memaksaku menceritakan kembali Angsa Putih yang telah berkali-kali diulang. Aku selalu memenuhi. Mereka memperhatikan cerita dengan serius.

...Lalu Angsa putih terbang ke langit. Masih terdengar sisa tangisnya, memanggil-manggil bapaknya, ibunya...tapi pintu dangau masih tertutup rapat.

Esok harinya Bapak Angsa putih keluar. Dan ia tidak menemukan apa-apa selain kelengangan dan selembar bulu Angsa yang melayang-layang terbawa angin.

“Begitulah kisahnya.” Aku mengakhiri cerita.

“Angsa putih tinggal sama siapa di langit?” Palung bertanya. Aku tersenyum sebab pertanyaan itu lagi-lagi muncul untuk kesekian.

“Di langit kan banyak bidadari. Mereka baik hati dan akan menyayangi Angsa putih,” Aku menjawab tentu dengan jawaban yang harus kurangkai sedemikian rupa karena tidak mungkin menggunakan kalimat yang persis sama seperti sebelumnya.

“Apa bidadari baik hati?”

“Tentu saja. Hati mereka putih.”

“Seperti apa, Bu?”

“Seperti hati anak-anak.”

“Seperti apa sih, Bu, hati anak-anak?”

“Ibu kan sudah bilang tadi, putih.”

“Ibu pernah lihat tidak?”

“Ya…tidak sih. Tapi Ibu bisa tahu.”

“Bu….”

“Ya.”

“Apa bidadari juga baik seperti ibu?”

“Tentu saja.”

Mereka tertidur dalam bingkai wajah yang damai.

Lalu kutemukan hari yang pucat dan kusadari semua sudah berakhir. Apa yang lebih menyakitkan dari sebuah kehilangan?

Pelan-pelan anakku tidak tertarik lagi dengan dongeng-dongeng yang selalu kusiapkan tiap malam. Palung Laut dan Elang Langit sebelum usia menginjak sembilan dan delapan tahun tiba-tiba bercerita tentang kebanggaannya pada sang jagoan dalam film kartun yang ditayangkan di televisi. Hingga suatu hari mereka merengek setengah menangis minta dibelikan pedang-pedangan seperti yang dimiliki sang jagoan. Dan aku hanya tertegun. Menganggap keinginan Palung dan Elang hanya mimpi burukku. Aku berharap segera terbangun dan mendapatkan anak-anakku yang berwajah lembut dan bermata teduh. Namun aku tidak pernah terbangun.

Setiap pulang sekolah anak-anak bermain pedang-pedangan di halaman rumah bersama teman-temannya. Saling berlawanan dan seperti saling ingin melukai. Bila ada yang terkena ujung pedang-pedangan berarti ia kalah dan yang menang akan bersorak sambil mengangkat sebelah tangan tinggi-tinggi.

Yang tertinggal untukku hanyalah saat-saat Palung dan Elang datang padaku demi menunjukkan mata mereka yang bersinar-sinar sambil terus membanggakan kemampuan bermain pedang-pedangan dan ingin sekali lebih pandai lagi seperti sang jagoan dalam film kartun. Aku rasa mimpiku lebih buruk lagi ketika suatu hari mereka juga minta pistol-pistolan. Mereka mau bermain perang-perangan dengan lebih hebat lagi.

Sungguh aku rindu memberikan dongeng pada anak-anak. Mendengar mereka bertanya dengan polos. Terlebih aku hanya ingin anak-anakku tetap berwajah lembut!

Tapi kau selalu berkata, ” anak kita telah memilih sebagai laki-laki.”

Sampai mereka benar-benar pamit dan jauh.*

Padang,18 Juni 2003


Puisi by Sondiri BS



Palung:
Untuk Mama dan Orang-orang di Halte

Abad berapa aku turun dari gerbang lain

Saat orang-orang lupa pulang ke hatinya sendiri

Meninggalkan tanah tanpa merasakan kepedihan lagi

Ditikam api dan ketakutan, mengasah pisau

Menjadi farao, tuhan-tuhan, berhala yang akan kukutuk

Aku takkan lupa mama, ini matahari di tanganku

Akan kubawakan beberapa kuntum bunga untukmu

Dan juga mereka yang tercenung di halte waktu, bertanya

Apakah kehidupan ditakdirkan di lautan

Atau di atas rimba ngauman manusia

Juni-Juli 2007